Mengapa
Harus Ada FKIP?
Beberapa tahun lalu, di dekade 90-an, sempat muncul
sebuah wacana penghapusan FKIP di Perguruan Tinggi. Salah satu alasan yang
diungkapkan adalah bahwa tanpa FKIP, ilmu pengetahuan bisa di ajarkan oleh
ilmuwan-ilmuwan lulusan dari berbagai fakultas. Semua lulusan dari berbagai fakultas
dapat mengajarkan ilmunya di lembaga-lembaga pendidikan formal. Lulusan dari Fakultas
Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) bisa mengajarkan mata pelajaran Sosiologi dan
Pendidikan Kewarganegaraan, misalnya. Atau lulusan dari Fakultas Ekonomi bisa mengajar mata pelajaran Ekonomi dan Akuntansi.
Hanya tinggal menambah mata kuliah metode atau teknik mengajar, para lulusan
dari berbagai Fakultas itu sudah siap menjadi guru dari Ilmu Pengetahuan sesuai
jurusannya.
Tentu saja wacana ini mendapat tanggapan pro dan kontra
baik di kalangan para akademisi maupun ditengah masyarakat umum.
Seorang Ibu yang merupakan lulusan dari FKIP menyatakan
“memang mudah jadi guru….”. Dengan
nada keberatan FKIP di hapus dan seolah profesi guru dianggap enteng saja.
Kukira pendapat ibu itu benar juga. Menjadi seorang guru
tidaklah mudah, karena seorang guru bukan saja bertugas sebagai tenaga pengajar
di lembaga-lembaga Pendidikan formal, tetapi sekaligus Ia di tuntut untuk bisa
memerankan diri sebagai pendidik dan tauladan bagi para siswanya. Lebih dari
itu seorang guru juga adalah orang tua di sekolah bagi para siswanya. Serta ia
berperan sebagai seorang Pembina dan seorang motivator sebagai penyempurnaan
tugasnya menjadi guru.
Menjadi seorang pendidik artinya selain bertugas mengajar
Ilmu Pengetahuan pada mata pelajaran tertentu di kelas, seorang guru di tuntut
mampu mengajarkan adab atau etika yang dalam agama islam terkait dengan
mempersiapkan akhlak siswa sebagai peserta didik. Bagaimana seharusnya siswa
berperilaku dalam interaksinya dengan lingkungan sosial di sekitarnya,
bagaimana seharusnya siswa berbuat untuk dirinya dan masa depan pengabdiannya
di tengah-tengah masyarakat bangsanya.
Sebagai seorang guru, mendidik para siswa dan
mengantarkannya kepada terbentuknya perilaku-perilaku dan perbuatan-perbuatan
sehingga menjadi pribadi mulia. Untuk itu ia tentu harus pula membina dirinya
sendiri mejadi teladan bagi anak-anak didiknya. Sebab salah satu unsur yang mempengaruhi
keberhasilan dalam pendidikan yang di anggap penting oleh para pakar pendidikan
adalah unsur keteladanan pendidik. Maka bagaimana ia akan mendidik para siswa mengenai
adab dan etika sementara pribadinya sendiri memiliki akhlak belum baik.
Guru juga di tuntut mampu berperan sebagai orang tua bagi
siswanya ketika siswa berada di sekolah. Meski siswa berada di sekolah hanya
beberapa jam saja di setiap harinya, tetapi justru waktu itu harus di
efektifkan oleh para guru dalam medidik siswanya. Hubungan berdasar kasih
sayang layaknya orang tua dan anak akan lebih efektif dalam menjalankan proses
pendidikan. Tentu tanpa mengesampingkan sikap profesional dan obyektif dalam
mengajar. Antara guru dan murid haruslah memiliki dan berusaha membangun
hubungan emosi berupa kedekatan dengan siswa layaknya orang tua dan anak.
Untuk meyempurnakan peran-peran tersebut di atas seorang
guru harus membangun dirinya menjadi seorang Pembina yang berperan mengawasi
atau memantau kondisi siswa secara keseluruhan serta berkelanjutan, mengawalnya
dengan baik sejak awal masa pendidikan sampai berakhirnya masa pendidikan.
Sebagai motivator peran seorang guru di harapkan mampu
member wawasan sekaligus dorongan semangat belajar bagi para siswa,
mengantarkan mereka kepada kesuksesan di akhir pendidikannya.
Jadi, benar kan apa yang di ungkapkan ibu tadi? “memang mudah jadi guru…”. Artinya ternyata
tidak mudah jadi guru, karena perlu banyak yang di persiapkan. Benar, menguasai
ilmu pengetahuan secara profesional sebagai seorang ilmuwan bisa di dapat oleh
semua lulusan fakultas apapun, tetapi tugas seorang guru tidaklah cukup dengan
itu saja. Perlu persiapan dengan menyiapkan mereka menjadi seorang tenaga
pegajar dan itu tidak cukup dengan hanya memberikan mereka mata kuliah metode
belajar mengajar. Perlu penempaan diri calon guru lebih dalam dan serius dalam
mempersiapkan mahasiswa-mahasiswa FKIP. Agar mereka siap mengabdi sebagai guru
seutuhnya. Yaitu seorang guru yang professional, yang bisa berperan sebagai
ilmuwan, serta berperan sebagai pendidik, tauladan, memerankan kasih sayang
orang tua, sekaligus Pembina dan motivator bagi para siswanya.ia memiliki
dedikasi tinggi terhadap profesinya degan semangat pengabdian, besikap
tulusmempersiapkan para siswanya menjadi orang-orang yang sukses
Apakah FKIP kita siap untuk semua ini? Apakah selama ini
sudah mampu mempersiapkan para mahasiswanya menjadi guru-guru seutuhnya?.
Apakah aku akan mampu mempersiapkan diri sebagai mahasiswa FKIP yang akan di
persiapkan menuju kesuksesan guru seutuhnya?. Harapan ini begitu besar. Semoga
Allah memudahkan.
(tulisan ini aku kembangkan dari sebuah opini seorang
guru ibunda pendidik, teladan, Pembina, motivator. Terimakasih sudah
menginspirasi)
Malang, 24 Juli 2014
Fadhlah Ulinnuha
201410080311090
Pendidikan Bahasa
Indonesia, FKIP, UMM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar